jalan cintaku (kiki story’s)

Sejak kepulanganku dari Bali, aku tak tahu mengapa aku selalu memikirkannya. Dia begitu baik dan mau menemani keluargaku berkeliling mengunjungi tempat-tempat wisata, merelakan hari liburnya untuk keluargaku.

Dia adalah tetangga dekatku dan juga kakak dari teman baikku, namun dia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Denpasar, karena itu aku jarang bertemu dengannya bahkan saat dia pulang ke Solo pun aku tak bisa berjumpa apalagi bercakap-cakap dengannya.

Dulu aku pernah menyukainya karena terkadang dia sering curhat tentang kehidupan cintanya kepadaku. Mulai dari menyukai teman sekolahnya yang juga guru lesku, sampai ketika dia ‘nembak’ tetanggaku dengan alasan coba-coba, juga ketika jadian dengan cewek karena rasa penasaran. Namun karena lama-kelamaan kita tak pernah berkomunikasi lagi, rasa itu perlahan mulai menghilang dengan sendirinya.

Tapi kenapa sekarang rasa itu muncul lagi?? Benar kata orang, pria bisa mencintai karena pandangan pertama dan wanita bisa mencintai karena terbiasa. Ini cinta atau rasa suka??. Aku tak peduli, perasaan ini paling akan hilang dengan sendirinya seiring waktu berlalu.

***

Seminggu setelah pulang liburan dari Bali, dia mulai sering menelponku. Kami mengobrol banyak hal, namun aku tak pernah berharap dia menyukaiku karena aku tahu wanita seperti apa yang dinginkannya. Aku harus menekan rasa sukaku dan menjadi pendengar yang baik. Aku berharap rasa ini akan hilang, karena menyakitkan saat orang yang kita sukai berbicara tentang wanita lain. Tapi bagaimana bisa?? jika dia tak membiarkanku menjauhinya. Tapi biarlah…. bisa dipercaya menjadi teman curhatnya saja  sudah menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagiku.

Aku mulai belajar menjadi patung yang bertelinga. Aku tak pernah menunjukkan rasa sukaku padanya bahkan aku tak menceritakan tentang hal ini pada teman baikku, karena aku takut mereka akan menertawakanku yang berangan terlalu tinggi. Namun kadang di tiap malam aku menangis, apa aku berdosa memiliki rasa cinta?? apa aku berdosa mencintai seseorang?? Jika ini sebuah dosa, aku hanya bisa meminta izin pada Tuhan untuk melakukan dosa ini sekali saja, karena aku tak bisa membunuh rasa ini walau aku sudah keras mencoba.

Waktu terus berjalan, di atas tanah cinta aku menanam bibit yang aku coba yakini itu sebagai persahabatan. Aku tak pernah mencoba menghubunginya, aku hanya ada saat dia membutuhkanku saja. Aku mencoba membantunya jika dia membutuhkanku dan aku akan diam jika dia diam. Tak pernah aku biarkan dia atau orang lain tahu rasa ini dan aku tak pernah berharap dia akan memberi balasan yang sama. Aku mulai menikmati rasa ini, menangis di saat aku merindukannya di malam hari dan tertawa saat pagi sudah menjelang.

Lama sejak itu, mas Haris selalu menyempatkan memberi sesuatu untukku saat dia pulang dari Denpasar. Entah itu sebuah gantungan kunci atau sebuah lukisan. Terkadang mengajakku pergi membeli oleh-oleh untuk temannya, mengajakku makan, nonton dan sebagainya. Aku hanya mencoba berfikir dia hanya mengajakku sebagai seorang adik, mungkin dia hanya butuh teman untuk pergi. Aku semakin tenggelam dalam rasa ini, tenggelam semakin dalam. Karena dia begitu baik.

Di bulan puasa dia memintaku untuk membangunkannya saat menjelang waktu sahur, aku melakukannya dan tak pernah absent seharipun. Aku ikhlas melakukannya karena tak tega membiarkannya terlambat sahur. Tak ada maksud lain, lagipula dia kakak dari teman baikku dan sudah begitu baik padaku juga kepada keluargaku. Aku tak mengira itu menimbulkan arti yang lain baginya. Aku tak tahu jika dia tak mengungkapkannya.

Aku masih ingat dan takkan pernah melupakkan moment yang akan merubah hidupku. Belum ada seminggu setelah lebaran. mas Haris mengungkapakan perasaannya padaku. Mengatakan bahwa dia menyukaiku. Seperti mimpi rasanya, terjawablah doa-doa yang kupanjatkan selama ini. Doa supaya Tuhan memberikan jodoh yang baik bagiku. Namun aku masih memiliki prinsip untuk tidak berpacaran dan berusaha takkan pernah berpacaran, karena aku ingin diriku di miliki oleh suamiku seorang kelak. Walau aku mencintainya, aku memilih mengikuti kata hatiku.

Ternyata Tuhan kembali berbelas kasih untukku. mas Haris ingin meminangku dan menjadikan aku istrinya. Aku tak percaya, karena aku merasa kalau aku bukan orang yang pantas bersanding dengannya. mas Haris meyakinkanku dengan alasan yang dia kemukakan.

Katanya aku adalah wanita yang baik dan cocok menjadi partnernya menjalani tuntunan Rasulullah, katanya semangat yang kuberikan selalu bisa membuatnya bangkit, katanya selama ini sebenarnya dia sudah lama suka denganku namun ragu untuk maju karena takut kandas di tengah jalan dan akhirnya sekarang dia telah mantap dan berani melamarku.

Dia paham denganku dan sangat menghormati prinsipku, karena itulah tanpa rasa keraguan sedikitpun aku berani menerima tawarannya. Aku meminta dia untuk segera melamarku dengan menemui kedua orang tuaku, karena bagaimanapun juga merekalah yang lebih berhak menentukan hidupku.

Akhirnya malam berikutnya, dia dan kedua orangtuanya bertandang ke rumahku menemui kedua orangtuaku. Saat itu tiada yang sanggup ku ungkapkan selain rasa syukur  yang begitu dalam. Hatiku sungguh berbunga-bunga, seolah-olah hari itulah puncak segala kenikmatan yang kuterima selama ini. Mulai hari itu kuikrarkan dalam hatiku untuk setia, berbagi dan menjaga hatiku hanya untuknya. Namun aku tak mau menjadi lupa diri karena bagaimanapun jodoh ada di tangan Tuhan, apapun bisa terjadi. Karenanya aku harus tetap bisa menjaga diriku, karena hanya itulah caraku bisa bersyukur.

Waktu terus berputar mengikuti rotasi bumi. Aku dan mas Haris mulai membangun impian-impian. Impian membangun sebuah keluarga yang bahagia. Aku ingin cepat menikah karena aku takut jika terlalu lama akan terjadi hal-hal yang tidak kuharapkan. Akhirnya di putuskan kita akan menikah di bulan Agustus nanti. Sebenarnya bagiku delapan bulan itu terlalu lama. Rasanya ingin sekali besok bisa menikah walau hanya Ijab Qobul. Sederhana saja, namun aku tak bisa menolak, karena itu sudah menjadi keputusan keluarga.

***

Hatiku selalu was-was karena semakin hari hubungan kami semakin tidak wajar. Tidak wajar bagiku karena aku tak menyukai aktivitas pacaran. Dia mulai memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ dan mulai mencoba memegang tanganku. Aku tak suka, walau aku mencintainya, walau dia calon suamiku. Sebenarnya aku hanya ingin hubungan seperti dulu, seperti teman biasa saja. Yang wajar saja, karena aku ingin menjaga diriku sampai kita resmi menjadi suami istri. Hatiku mulai bimbang di antara memilih membahagiakan dia atau mengikuti ajaran Tuhanku.

Di antara kebimbangan hatiku, prahara mulai melanda. Entah mengapa dia jadi orang yang mudah marah. Tiap keinginannya tidak terpenuhi dia selalu marah, namun aku mencoba memahami dirinya. Memahami bahwa mungkin dia sedang ingin diperhatikan dan sedang rindu padaku, karena jarak memisahkan kita hingga tak sebegitu mudah kita bisa bertemu. Tapi karena kesibukan kuliahku menyita pikiranku, akhirnya lama-kelamaan membuat kita tak bisa saling mengerti. Pertengkaran demi pertengkaran mulai menghiasi hubungan kami.

Puncaknya adalah ketika dia memundurkan rencana pernikahan kami dengan alasan kesibukan kuliahku dan kesibukannya yang padat pada bulan itu, sebenarnya aku ingin perkawinan kami di majukan saja, namun karena dia sudah lebih dulu mengemukakan alasannya bahwa dia sedang sibuk-sibuknya ujian dan sebagainya, aku tak berani mengganggunya. Aku mulai kalut. Harapanku untuk bisa menjaga diri mulai menipis. Karena semakin lama dia mulai meminta hal-hal yang tak bisa aku penuhi dan entah apa yang akan terjadi jika jarak pernikahan menjadi semakin lama.

Setelah lama aku berpikir, akhirnya aku putuskan untuk meminta dia menjauhiku sementara waktu supaya kita bisa lebih menjaga diri, aku memintanya bersikap seperti teman biasa saja. Karena jujur, aku lebih mencintai Tuhanku lebih dari apapun. Namun aku meyakinkan diri dan berjanji akan tetap setia sampai saat pernikahan menyatukan kami.

Ternyata aku salah, perkataanku telah membuatnya sakit hati. Lalu dia menjadi orang yang begitu membenciku. Hubungan kami bertambah buruk. Dia tak pernah membalas pesanku ataupun mengangkat teleponku. Aku tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat. Aku tak pernah bermaksud menyakiti hatinya.

Aku berusaha memperbaiki hubungan ini, walau aku tahu setiap pesanku tak akan pernah dia balas, walau aku tahu akan menimbulkan luka baru untukku setiap kali dia bersikap seperti itu. Aku coba menanyakan padanya apa kesalahanku dan apa sebenarnya keinginannya. Dia tak pernah menjawab. Sampai suatu ketika datang pesannya yang mengatakan bahwa aku sudah sangat melukainya dan dia takkan pernah bisa memaafkanku. Namun aku tak mengerti apa yang telah menyakitinya, karena dia tak pernah mau berterus terang. Aku terus mencoba dan mencoba meruntuhkan hatinya yang keras, aku berusaha untuk selalu meminta maaf. Namun usahaku selalu gagal, setiap air mataku kusimpan sendiri dalam gelapnya malam.

Pada hari dia pulang ke Solo, aku memintanya menemuiku untuk membicarakan masalah ini, namun dia juga tidak kunjung datang. Aku tak ingin hubungan ini hancur, aku tak ingin menyakiti hati orang tuaku dan mempermalukan mereka.

Dua bulan hubungan ini semakin tak jelas arahnya. Aku mulai belajar bersiap menerima hal yang terburuk sekalipun. Namun hati ini tetap terasa sakit dan hampa. Aku masih menyimpan harapan selama dia tak mengucapkan kata yang kutakutkan. Aku tetap mencoba bertahan dan menanti. Rupanya doa dan airmataku tak cukup untuk mewujudkan harapanku. Saat itu akhirnya datang juga setelah sekian lama aku menunggu. Dia memilih untuk mengakhiri hubungan kami. Rasanya seperti dunia ini berhenti berputar begitu saja.

Apakah kami memang tak berjodoh??

Kemudian aku kembali menanyakan alasannya kepadanya dan dia menjawab bahwa aku sudah sangat menyakiti hatinya, bahwa aku sudah tak menghargainya. Sungguh demi Tuhan tak ada niatku untuk menyakitinya atau menyepelekannya.

Aku memintanya untuk berpikir lagi, karena hubungan ini bukan lagi 100% menjadi hubungan milik kami berdua, karena keluarga kami pun turut berperan di dalamnya. Aku mencintainya dan aku juga mencintai keluargaku. Aku takut mengecewakan kedua orang tuaku. Aku berharap dia akan berubah dan kembali membangun lagi komitmen-komitmen kami yang sudah hancur.

Namun ternyata aku harus terima kenyataan bahwa dia sudah tak menerimaku lagi. Dia tetap pada keputusannya untuk mengakhiri hubungan kami. Rasanya seperti pisau yang di tusukkan dan ditarik perlahan-lahan, hingga sel-sel tubuhku bisa merasakan sayatannya.

Dia bukan lagi orang yang dulu kukenal. Orang yang dulu mengatakan mencintaiku apa adanya, orang yang mengatakan akan bersedia membangun sebuah keluarga yang barokah denganku. Sepertinya, rasa kemarin itu dan kenangan-kenangan yang telah berlalu tak berbekas lagi di hatinya. Api telah disiram dengan air, kayu telah berubah menjadi arang.

***

Cintanya telah mati dan bila itu telah terjadi, aku juga tak mampu lagi bertahan dan berjuang.

Aku telah kalah dan menyerah.

Namun masih ada satu cinta yang tetap menyala di hatiku.

Dan itu adalah cintaku pada-Nya.

Dan bila aku harus bercerita pada Tuhanku suatu saat kelak, aku akan mengatakan bahwa aku pernah mempunyai seseorang yang berarti dalam hidupku, yang janjinya dulu pernah terpatri dalam hatiku, dan yang pernah membuatku merasa menjadi wanita yang paling bahagia.

Terima kasih karena pernah mencintaiku yang seperti ini.

~ oleh azzaam pada 4 Oktober 2008.

Satu Tanggapan to “jalan cintaku (kiki story’s)”

  1. haloo kamu di solo ya…kita punya cerita yang sama..tapi lebih tragis lagi…

Tinggalkan komentar